Tampilkan postingan dengan label medis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label medis. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 April 2016

Salbutamol

Nama Generik Dan Dagang

Salbutamol, Astop, Bromosal, Lasal, Proventol, Respolin, Salbumax Turbuhaler, Ventolin, Volmax, Butasal, Buventol Easyhaler, Glisend, Grafalin, turbuhaler, Varsebron, Venasma, Ventab, Venterol

Sediaan

  • Tablet : 2 mg dan 4 mg
  • Nebule/Cairan Inhaler (respul) 0,1% dan 0,2% : 2,5 mg dan 5 mg
  • Inhaler 100 mcg/dosis
  • Salbutamol Syrup

Farmakologi

Salbutamol merupakan golongan β2 adrenergik yang secara farmakodinamik menyebabkan bronkodilatasi pada paru-paru dan sebaliknya pada jantung dapat menyebabkan vasokontriksi.
Salbutamol bekerja lebih lama dan aman karena efek stimulasi terhadap jantung relative lebih minimal.

Namun demikian pemberian salbutamol pada pasien dengan hipertensi sebaiknya dalam bentuk inhalasi.

Salbutamol juga dapat bekerja pada otot polos uterus dengan efek mengurangi kontraktilitas pada uterus.

Efek dari salbutamol dapat dihambat dengan obat-obatan penghambat β2 adrenergik.

Oleh karenanya tidak boleh diberikan bersamaan dengan obat-obatan penghambat β2 adrenergik.

Salbutamol diabsorpsi dengan baik melalui saluran pencernaan sehingga efeknya akan tampak setelah 15 menit dan berlangsung selama 4 - 8 jam.

Waktu paruh eliminasinya berkisar dari 2,7 sampai 5 jam.

Salbutamol tidak dimetabolisme oleh enzim-enzim COMT maupun sulfatase dari dinding intestin.

Di hati akan berkonjugasi dengan sulfat.

Diekskresi melalui urin dalam bentuk utuh.

Indikasi

Salbutamol diindikasikan pada pasien dengan :
  • Kejang bronkus pada semua jenis asma bronkial
  • Bronkitis kronis dan
  • Emphysema

Kontraindikasi

Penderita yang hipertensif dengan salbutamol

Dosis

Tablet :
  • Dewasa (di atas 12 tahun) : 2 - 4 mg, 3 sampai 4 kali sehari
  • Anak-anak :
  • Anak < 2 tahun : 200 mcg/kg BB diminum 4 kali sehari
  • 2-6 tahun : 1-2 mg, 3 sampai 4 kali sehari
  • 6-12 tahun : 2 mg, 3 sampai 4 kali sehari
  • Catatan : Dosis dapat ditingkatkan; dosis awal untuk usia lanjut dan penderita yang sensitif sebesar 2 mg
Inhalasi aerosol
  • Anak : 100 mcg (1 hisapan) dan dapat dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hisapan) bila perlu.
  • Dewasa : 100-200 mcg (1-2 hisapan), 3-4 kali sehari
Inhalasi cair
  • Dewasa : 2,5 mg - 5 mg 4 kali sehari. Maksimal 40 mg per hari dibawah pengawasan yang ketat di rumah sakit.
  • Anak >12 tahun dosis sama dengan orang dewasa
  • Anak 4-11 tahun : 2,5 mg - 5 mg 4 kali sehari
  • Anak >18 bulan : 2,5 mg diberikan sampai 4 kali sehari atau 5 kali bila perlu.
  • Catatan : manfaat terapi ini pada anak < 18 bulan masih diragukan.
Injeksi subkutan atau intramuscular
  • Dosis : 500 mcg diulang tiap 4 jam bila perlu
Injeksi intravena lambat
  • Dosis : 250 mcg, diulang bila perlu

Efek Samping

Pada pemakaian dengan dosis anjuran tidak ditemukan efek samping yang berat. Pada pemakaian dosis besar dapat dijumpai adanya tremor, palpitasi, kejang otot, takikardia, sakit kepala dan ketegangan.

Efek samping diatas merupakan parangsangan adrenoreseptor beta.

Efek samping lain vasodilator perifer, gugup, hiperaktif, epitaksis (mimisan), susah tidur

Peringatan dan Perhatian

  • Hati-hati pemberian salbutamol pada pasien dengan tirotoksikosis, hipertensi, gangguan kardiovaskular, hipertiroid dan diabetes mellitus
  • Hati-hati penggunaan salbutamol pada ibu hamil trimester pertama meski belum terdapat bukti teratogenitas.
  • Hati-hati penggunaan salbutamol pada wanita menyusui karena kemungkinan diekskresikan melalui air susu
  • Hati-hati penggunaan salbutamol pada anak usia kurang dari 2 tahun karena keamannya belum diketahui secara pasti.
  • Pada penggunaan secara intravena pada pasien dengan diabetes mellitus perlu dimonitor kadar gula darah

Interaksi Obat

  • β2 antgonis : menyebabkan penghambatan efek salbutamol
  • β blockers : pasien dengan asma bisa menyebabkan bronkospasm
  • Digoxin : Salbutamol dapat menurunkan kadar serum digoxin
  • Diuretik : Asetazolamid, diuretik kuat dan thiazida dosis tinggi akan meningkatkan resiko hipokalemia jika diberikan bersamaan dengan salbutamol dosis tinggi pula
  • Pemberian bersama dengan monoamine oksidase (MAO) dapat menyebabkan hipertensi berat.
  • Penggunaan salbutamol dosis tinggi bersamaan dengan kortikosteroid dosis tinggi akan meningkatkan resiko hipokalemia.
  • Penggunaan salbutamol bersama dengan obat golongan MAO-inhibitor (misal: isocarboxazid, phenelzine) bisa menimbulkan reaksi yang serius.
  • Hindari pemakaian obat-obat golongan ini 2 minggu sebelum, selama maupun sesudah konsumsi salbutamol.

Selasa, 09 Februari 2016

Asidosis Metabolik


Asidosis merupakan akumulasi asam atau ion hidrogen atau pengosongan cadangan alkali (bikarbonat) dalam darah dan jaringan tubuh mengakibatkan penurunan PH. Asidosis metabolik merupakan keadaan asidosis yang status asam basa tubuhnya bergeser ke sisi asam akibat kehilangan basa atau retensi asam norkarbonat (asam yang tetap atau tidak menguap)

Patogenesis


Penyebab mendasar dari asidosis metabolik yaitu adalah penambahan asam (nonkarbonat), kegagalan ginjal untuk mengeksresi beban asam setiap hari atau kehilangan bikarbonat basa. Penyebab asisdosis metabolik umumnya dibagi dalam dua kelompok berdasarkan apakah selisih anion normal atau meningkat.

Penyebab asidosis dengan anion normal (hiperkloremik)

  • Kehilangan bikarbonat
    • Kehilangan melalui saluran cerna
      • Diare
      • Ileostomi; fistula pankreas, kantung empedu atau usus halus
      • Uterosigmoidostomi
    • Kehilangan melalui ginjal
      • Asidosis tubulus proksimal ginjal (RTA)
      • Inhibitor karbonik anhidrase (asetazolamid)
      • Hipoalditeronisme
  • Peningkatan beban asam
    • Amonium klorida (NH4Cl → NH3 + HCL)
    • Cairan-cairan hiperalimentasi
  • Lain-lain
    • Pemberian IV laruta garam secara cepat

Penyebab asidosis dengan anion meningkat

  • Peningkatan produksi asam
    • Asidosis laktat : laktat (perfusi jaringan atau oksigenasi yang tidak memadai seperti pada syok atau henti kardioplumonar)
    • Ketoasidosis diabetik : Beta-hidroksibutirat
    • Kelaparan : peningkatan asam-asam keto
    • Intoksikasi alkohol : peningkatan asam-asam keto
  • Menelan subtansi toksik
    • Kelebihan dosis salisilat : salisilat, laktat, keton
    • Metanol atau formaldehid : format
    • Etilen Glikol(antibeku) : oksilat, glikolat
  • Kegagalan eksresi asam : tidak adanya ekskresi NH4+; retensi asam sulfat dan asam fosfat
    • Gagal ginjal akut atau kronis





Gambaran klinis

Gambaran klinis berupa :
  • Pernafasan kussmaul (pernafasan cepat dan dalam), lebih menonjol pada asidosis metabolik karena ketoasidosis diabetik dari pada pada asidosis pada gagal ginjal
  • Tanda dan gejala utama pada asidosis metabolik bermanifestasi sebagai kelainan pada kardiovaskular, neurologik dan fungsi tulang
  • Kelainan kardivaskular berupa : berkurangnya kontraktilitas jantung dan respon inotropik pada katekolamin, vasodilatasi perifer, hipotensi dan disritmia jantung
  • Kelainan neurologik berupa : Kelelahan hingga koma akibat penurunan PH pada cairan cerebrospinal, mual dan muntah


Mekanisme kompesatorik pada asidosis metabolik

Mekanisme kompensatorik ini bertujuan agar PH darah kembali pada ambang yang normal. Beberapa mekanisme kompensatorik yang dapat terjadi adalah :
  • Respon segera terhadap beban H+ pada asidosis metabolik adalah mekanisme penyangga ECF (Extra Cellular Fluid) melalui bikarbonat, sehingga mengurangi HCO3_ plasma.
  • Kompensasi pernafasan : yang bekerja beberapa menit kemudian. Ion H+ arteri yang meningkat merangsang kemoreseptor pada badan karotis, yang akan merangsang peningkatan ventilasi alveolar (hiperventilasi). Akibatnya, PaCo2 menurun dan PH pulih kembali menuju 7,4.
  • Mekanisme terakhir yaitu ginjal, berlangsung lebih lambat dan mungkin membutuhkan beberapa hari. Terdapat beberapa mekanisme diantaranya :
    • Ion H+ yang berlebih disekresi ke dalam tubulus dan diekskresi sebagai NH4+ atau asam yang dapat dititrasi (H3PO4)
    • Eksresi NH4+ yang meningkat diikuti dengan peningkatan reabsorbsi HCO3_, tetapi ekskresi H3PO4) mengakibatkan pembentukan bikarbonat baru
    • Insufisiensi atau gagal ginjal akan menurunkan keefektifan dan pembuangan ion H+

Penanganan Asidosis Metabolik

Kamis, 04 Februari 2016

Hipoglikemia : Kondisi Emergency/Gawat Darurat yang sering terlewatkan



Hipoglikemia merupakan suatu kondisi dimana kadar gula darah berkurang secara abnormal yang ditandai dengan gejala-geaja sebagai berikut :

Gejala awal

  • Keringat dingin
  • Gemetar
  • Gangguan bicara, seperti bicaranya menjadi celat atau sulit bicara

Gejala lanjutan

  • Letargi atau penurunan kesadaran sampai koma
  • Hipotensi bahkan tekanan darah sampai tidak terukur
  • Sesak nafas
  • Kadang bisa disertai kejang
Atau dapat dikatakan pada kondisi hipoglikemia terjadi pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi) dan pada tahap lanjut kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma)

Dengan adanya gejala berupa penurunan kesadaran, sering kali pasien datang ke intalasi gawat darurat dengan sangkaan strokeatau kondisi lain yang menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran

Oleh karenanya pada pasien dengan penurunan kesadaran diperlukan pemeriksaan KGD segera untuk menyingkirkan kemungkinan kondisi hipoglikemia

Penyebab Hipoglikemia

Beberapa penyebab terjadinya hipoglikemia yaitu :
  • Komsunsi OAD (obat anti diabetik) seperti golongan sulfonil urea (Glibenclamid). Oleh karenanya penggunaan glibenclamide haruslah hati-hati. Dan hal ini sering terjadi pada pasien DM(Diabetes Melitus) yang sudah lama yang tidak memeriksakan terlebih dahulu KGD (kadar gula darah)-nya. Atau pasien yang menggunakan OAD namun kurang asupan karbohidrat.
  • Pada penggunaan insulin
  • Pada pasien hapatitis dan sirosis hati
  • Pada pembedahan, disebut hipoglikemia reaktif terdapat pada pasien yang mengalalami midifikasi bedah pada saluran pencernaan sehingga pencernaan makanan bergerak terlalu cepat melewati lambung ke dalam duodenum.
  • Pada penyakit autoimum yang disebabkan antibodi terhadap insulin atau kadang oleh autoantibodi terhadap reseptor insulin
  • Pada keadaan puasa, seperti setelah kandungan glukosa pada usus diserap yang terjadi dalam keadaan seperti pada insulinoma, penyakit penimbunan glikogen, gagal hati yang berat, kelaparan, malabsorsi, hipopituitarisme, dan insufesiensi adreno kortikal
  • Obat-obatan : Ethanol, haloperidol, pentamidin, quinin, salisilat, dan sulfonamid, telah dihunbungkan dengan kejadian hipoglikemia. Obat-obatan lain yang mungkin berhubungan dengan kondisi ini termasuk OAD atau oral hypoglycemics, fenilbutazon, insulin, bishydroxycoumarin, asam p-aminobenzoic, propoxyphene, stanozolol, hypoglycin, karbamat, disopiramid, isoniazid, methanol, methotrexate, antidepressan trisiklik, agen sitotoxik, organofosfat, didanosine, Klorpromazin, fluoxetine, sertralin, fenfluramin, trimethoprim, 6-mercaptopurin, thiazid obat diuretik, thioglycolate, tremetol, ritodrin, disodium ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), klofibrat, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor dan lithium.

Patofisiologi

Pada kondisi Hipoglikemia terjadi aktifasi saraf simpatik dan disfungsi otak sekuder yang disebabkan penurunan kadar glukosa darah. rangsangan dari sistem saraf simpatoadrenal menyebabkan pelepasan keringat, mudah tersinggung, cemas dan lapar. Kurangnya ketersediaan glukosa dalam otak (seperti neuroglycopenia), dapat menyebabkan kebingungan, gangguan konsentrasi, iritabilitas, halusinasi, kerusakan fokal (seperti hemiplegia), dan bahkan koma dan kematian.

Gejala-gejala adrenergik seringkali mendahului gejala-gejala neuroglycopenic, sehingga, dapat dijadikan sebagai peringatan awal terhadap pasien. Penelitian menunjukkan bahwa rangsangan utama pada pelepasan katekolamin adalah kadar absolut glukosa plasma; kecepatan penurunan glukosa kurang penting. Sebelumnya kadar gula darah awal dapat mempengaruhi respon individual terhadap kadar gula darah tertentu. Meskipun demikian, merupakan hal yang penting mencatat pasien dengan hipoglikemia berulang yang dapat terjadi tanpa gejala. Ambang rangsang pada pasien yang merasakan gejala-gejala hipoglikemia menurun dengan episode hipogkemia yang berulang

Kenapa Hipoglikemia merupakan kondisi yang emegergency yang sering Terlewatkan?

Penurunan glukosa darah secara abnormal, akan membuat tubuh kekurangan glukosa sebagai bahan baku pembentukan energi. Dari seluruh organ tubuh, organ otak merupakan organ yang paling sensitif jika tubuh terjadi kekurungan kadar gula darah. Mengapa demikian? Karena apabila otak tidak mendapat asupan glukosa yang yang memadai dalam waktu yang relatif lebih singkat (tergantung kadar gula darah dan kecepatan penurunan glukosa darah) maka bisa menyebabkan terjadinya kerusakan otak yang permanen. Oleh karenanya kondisi hipoglikemia ini relatif lebih berbahaya dibanding dengan kondisi hiperglikemia.

Disamping itu pada kondisi hipoglikemia yang berulang seringkali tanpa gejala yang disadari. Akibatnya bila kondisi hipoglikemia lama baru diketahui maka bisa menyebabkan kerusakan otak fokal seperti hemiplegia disamping penurunan kesadaran. Gejala seperti serangan stroke ini, seringkali tidak terdeteksi di klinik atau pada pelayanan kesehatan dasar, karena dianggap serangan stroke.

Atau pada pasien sedang dalam perawatan di rumah sakit, juga bisa terlewatkan bila sebelumnya diketahui tidak menderita diabetes (tidak sedang menggunakan OAD atau insulin) atau tidak adanya faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan kondisi hipoglkemia. Perlu diperhatikan pula reaksi obat tertentu juga dapat memicu terjadinya kondisi hipoglikemia.

Senin, 01 Februari 2016

Mimisan atau Epistaksis



Defenisi Epistaksis

    Menurut Kamus Kedokteran Dorland, Epistaksis adalah perdarahan dari dalam hidung, mimisan; disebut juga nosebleed dan nasal hemorrhage.
    Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
    Dan Perlu diketahui bahwa epistaksis bukanlah suatu penyakit namun merupakan gejala atau tanda pada penyakit dan diperlukan pemeriksaaan penunjang untuk penetapan diagnosis.
    Epistaksis bagi kebanyakan orang adalah hal yang menakutkan dan memang merupakan salah satu kondisi gawat darurat dalam bidang THT
    Penaganannyapun akan tergantung pada seberapa parah perdarahan yang terjadi dan dimana lokasi perdarahan serta penyakit yang mendasarinya jika memang ada

Penyebab Epistaksis

    Penyebab epistaksis dapat berupa penyebab lokal maupun sistemik. Penyebab lokal termasuk epistaksis idiopatik, trauma, inflamasi, neoplasia, vaskular, iatrogenik, kelainan struktural, dan obat-obatan seperti semprot hidung. Penyebab sistemik berupa kelainan hematologi, lingkungan (temperatur, kelembaban dan ketinggian), obat-obatan (contoh antikoagulan), gagal organ (uremia dan gagal hati), serta penyebab lain misalnya hipertensi.Sandoval dkk. yang meneliti 178 anak dengan epistaksis berulang mendapati bahwa sepertiga di antaranya didiagnosis koagulopati, dan penyakit Von Willebrand yang ditemukan pada 33 pasien.
    Epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengeluarkan ingus dengan kuat, bersin, mengorek hidung atau akibat trauma yang hebat seperti kecelakaan lalulintas. Disamping itu juga dapat desebabkan oleh iritasi gas yang merangsang, benda asing dan trauma pada pembedahan. Infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rinitis, sinusitis serta granuloma spesifik seperti lupus, sifilis dan lepra dapat juga menimbulkan epistaksis. Epistaksis berat dapat terjadi pada tumor seperti hemangioma, karsinoma dan angiofibroma. Tiwari (2005) melaporkan melanoma pada hidung sebagai penyebab pistaksis yang tidak biasa.Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang dijumpai pada arterioskelerosis sering menyebabkan epistaksis hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik. Gangguan endokrin pada wanita hamil dan menopause,kelainan darah pada hemofilia dan leukemia serta infeksi sistemik pada demam berdarah, tifoid dan morbili sering juga menyebabkan epistaksis. Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah Rendu-Osler-Weber disease.

Penyebab Lokal

  • Trauma, misalnya mengorek hidung, terjatuh, terpukul, benda asing di hidung, trauma pembedahan, atau iritasi gas yang merangsang
  • Infeksi hidung dan sinus paranasal, seperti rinitis, sinusitis; serta granuloma spesifik, seperti lepra dan sifilis
  • Tumor, baik jinak maupun ganas pada hidung, sinus paranasal, dan nasofaring
  • Pengaruh lingkungan, misalnya perubahan tekanan atmosfir mendadak seperti pada penerbangan dan penyelam (Caison disease), atau lingkungan yang udaranya sangat dingin
  • Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis yang ringan disertai ingus yang berbau busuk
  • Idiopatik, biasanya merupakan epistaksis yang ringan dan berulang pada anak dan remaja

Penyebab Sistemik

  • Penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi dan kelainan pembuluh darah
  • Kelainan darah seperti trombositopenia, hemofilia, dan leukemia
  • Infeksi sistemik, seperti demam berdarah dengue, influenza, morbili, atau demam tifoid
  • Gangguan endokrin, seperti pada kehamilan, menars, dan menopause
  • Kelainan kongenital, seperti penyakit Osler (hereditary hemorrhage telangiectasia)

Jenis-jenis Epistaksis

    Epistaksis terdiri dari 2 jenis yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior.

Epistaksis Anterior

    Epistaksis anterior biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja dan biasanya ringan dan tidak membahayakan serta dapat berhenti spontan dan mudah diatasi
    Namun demikian jika terjadi berulang dan ditemukan tanda klinis lain seperti demam, adanya bintik-bintik perdarahan di tubuh, pucat, anemis, lebam-lebam pada kulit maka perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lain untuk diagnosis pasti.
    Lokasi perdarahan pada epistaksis antrior berasal dari little areas atau pleksus Kiesselbach (yang banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak) atau dari arteri etmoidalis anterior

Epistaksis Posterior

    Epistaksis posterior biasanya dialami orang tua yang merupakan Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior
    Sumber perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior
    Epistaksis posterior dapat dijumpai pada pasien denga hipertensi, arteriosklerosis dan penyakit kardiovaskuler

Pemeriksaan Penunjang

    Untuk menilai keadaan umum dan mencari etiologi, dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostasis, uji faal hati dan ginjal. Dilakukan pula pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal dan nasofaring setelah keadaan akut diatasi

Pengobatan Epistaksis

    Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. (2)
    Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 - 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
    Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping penggantian cairan.

Prognosis

    Sembilan puluh persen kasus epsitaksis dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk

Referensi :

  • Kamus Kedokteran Dorland, Penerbit EGC, Edidi 29, Hal 752
  • Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No. 3 September 2006, Hal 274-277
  • Sari Pediatri, Vol. 9, No. 2, Agustus 2007, Hal 75-77
  • Kapita selekta Kedokteran, Penerbit Aesculapius FKUI 2001 Edisi III, Jilid 1, Hal 96-98
  • REVIEW : Epistaxis: an update on current management, L E R Pope, C G L Hobbs. available at http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1743269/

Selasa, 12 Januari 2016

Penyebab Kematian Mendadak

    Penyebab kematian mendadak pada dewasa muda sering kali dihubungkan dengan gangguan jantung. Namun demikian dapat dikatakan kejadian kematian mendadak pada dewasa muda jarang terjadi, walaupun begitu tetap perlu diwaspadai apa-apa saja yang faktor resiko yang menyertainya.
    Selain gangguan jantung, secara sistem organ maka penyebab kematian mendadak bisa disebabkan gangguan pada sistem saraf pusat, sistem pernafasan dan juga sistem percenaan dan urogenital
Sistem kardiovaskuler
    Kematian mendadak akibat gangguan kardiovaskuler berkisar sekitar 60-70% dan lebih banyak di alami pria daripada wanita. Sumbatan pada pembuluh darah koroner merupakan awal dari munculnya berbagai penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian. Kemungkinan kelanjutan dari sumbatan pembuluh darah koroner adalah :
    (1) Mati mendadak yang dapat terjadi sesaat dengan sumbatan arteri atau setiap saat sesudah terjadi.
    (2) Fibrilasi ventrikel yang disebabkan oleh kerusakan jaringan nodus atau kerusakansistem konduksi.
    (3) Komplikasi-komplikasi lain.


Sistem pernafasan
    Kematian mendadak yang diakibat gangguan sistem pernafasan biasanya disebabkan adanya asfiksia, perdarahan atau adanya pneumothoraks
Sistem pencernaan
    Kematian biasanya terjadi pada kasus perdarahan yang hebat misalnya pada gastritis kronis dan ulukus duodeni. Perdarahan akibat tumur jarang terjadi kecuali disebabkan keganasan atau leiomioma. Kamatian mendadak juga bisa disebabkan terjadinya ruptur varises esofagus. Pecah atau rupturnya varises esofagus sering merupakan komplikasi dari sirosis hepatis sebagai akibat terjadinya hipertensi portal
Apa yang dimaksud dengan kematian mendadak?
    Menurut WHO, beberapa defenisi tentang kematian mendadak telah diajukan selama lebih dari 25 tahun. Namun demikan, kematian dapat disebabkan berbagai macam mekanisme dan tidak semua defini bisa cocok dengan setiap situasi.
    Oleh karenanya, lebih bermakna untuk mendefenisikan ciri-ciri khusus seputar henti jantung, dan mengusulkan dan mengumpulkan data dengan cara terstandarisasi, daripada mencoba mendefinisikan kata "sudden" atau "mendadak" dalam hal konteks kematian.
    Terlepas bagaimana yang terjadi didefenisikan, beberapa hal penting yang harus ditanyakan diantaranya : kapan terjadinya nyeri sebelumnya atau terjadinya infark miokard; Kapan adanya penyakit jantung yang mendasari; waktu onset, ada tidaknya, gejala-gejala sebelumya; lokasi kematian (di rumah atau di rumah sakit); apakah kematian telah diduga; masuk akal, atau adanya upaya dari petugas medis; dan penyebab kematian.

    Menurut WHO Defenisi kematian mendadak adalah kematian yang terjadi kurang dari 24 jam sejak gejala-gejal timbul
    Kematian mendadak tak terduga merupakan kematian yang disebabkan penyakit alamiah yang terjadi seketika beberapa menit, jam atau hari dimana tidak ditemukan unsur trauma atau keracunan.
    Kematian yang tidak wajar ataupun terjadi di luar rumah dana atau rumah sakit biasanya mengundang kecurigaan polisi dan bisa jadi merupakan kasus forensik.
    Oleh karenanya menjadi sangat penting menentukan penyebab kematian pada kasus kematian mendadak
Beberapa kasus spesifik penyebab kematian mendadak berkaitan dengan jantung
    Hypertrophic cardiomyopathy : Pada penyakit ini, terjadi penebalan abnormal pada otot jantung (miokard) sehingga membuat jantung bekerja lebih keras untuk memompa darah. Sementara biasanya tidak bersifat fatal pada kebanyakakan orang, dan ini biasanya dihubungkan dengan penyebab kematian mendadak akibat gangguan jantung yang umum pada usia di bawah 30 tahun
    Coronary artery abnormalities atau Kelainan Arteri Koroner : Terkadang, beberapa orang dilahirkan dengan arteri-arteri koroner yang terhubung secara abnormal. Arteri-arteri ini dapat terkompresi selama latihan dan mungkin tidak menyediakan aliran darah yang memadai ke jantung
    Long QT Syndrome : merupakan gangguan irama jantung bawaan yang dapat menyebab jantung berdetak cepat dan tidak teratur. Cepatnnya denyut jantung yang disebabkan kelainan pada bagian jantung, dapat menyebabkan penderita pingsan. Dan denyut jantung yang irreguler ini dapat mengancam jiwa.
Sindroma kematian mendadak
    Sindroma kematian mendadak ini merupakan istilah yang meliputi berbagai penyebab terjadinya henti jantung (cardiac arrest) baik berupa penebalan otot jantung menjadi abnormal maupun adanya gangguan kelistrikan pada jantung yang bisa menyebabkan irregularitas irama jantung.Sindroma kamatian mendadak, sifatnya non traumatik, tidak terdapat unsur kekerasan dan sering dilaporkan sebagai kematian dengan penyebab alami
.

Jumat, 02 Mei 2014

Jenis-jenis Kejang


Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena.





Penyebab kejang mencakup factor-faktor perinatal, malformasi otak congenital, factor genetic, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif susunan saraf. Kejang disebut idiopatik bila tidak dapat ditemukan penyebabnya.
Epilepsi adalah gangguan yang ditandai dengan kejang yang kronik, kejang yang terutama berasal dari serebri menunjukkan disfungsi otak yang mendasarinya. Epilepsy sendiri bukan suatu penyakit.

Insidens
Sedikitnya kejang terjadi sebanyak 3% sampai 5% dari semua anak-anak sampai usia 5 tahun, kebanyakan terjadi karena demam.

Jenis Kejang
A. Kejang Parsial
 Kejang Parsial Sederhana

1.      Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
  • Tanda-tanda motoris→kedutaan  pada wajah. Tangan, atau salah satu sisi tubuh : umumnya gerakan kejang yang sama.
  • Tanda atau gejala otonomik→muntah   berkeringan, muka merah, dilatasi pupil.
  • Gejala somatosensoris atau sensoris khusus→-mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
  • Gejala psikik→dejavu, rasa takut, sisi panoramic.


Kejang parsial komplesk
1.   Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks.
2.   Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromatic—mengecapkan  bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3.   Dapat tanpa otomatisme—tatapan terpaku.
  
B. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)
Kejang Absens
1.      Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
2.      Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik.
3.      Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan berkonsentrasi penuh.
4.      Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

Kejang Mioklonik
ü Kedutaan-kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi mendadak

Kejang MioklonikLanjutan
1.      Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik, berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas dan kaki.
2.      Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi didalam kelompok.
3.      Kehilangan kesadaran hanya sesaat

Kejang Tonik-Klonik
1.      Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung kurang dari 1 menit.
2.      Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kebih dan usus.
3.      Tidak adan respirasi dan sianosis
4.      Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan bawah.
5.      letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical

Kejang Atonik
1.      Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh ketanah.
2.      Singkat, dan terjadi tampa peringatan.

Status Epileptikus
1.      Biasanya. Kejang tonik-klonik umum yang terjadi berulang.
2.      Anak tidak sadar kembali diantara kejang.
3.      Potensial untuk depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia
4.      memerlukan pengobatan medis darurat dengan segera.


Rabu, 30 April 2014


A.    Definisi (1)
Stroke hemoragik adalah pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak. (1)

B.     Klasifikasi Stroke Hemoragik
Stroke Hemoragik terbagi 2, sebagai berikut. (2)
1)      Perdarahan intraserebral
Perdarahan intraserebral adalah perdarahan dari salah satu arteri otak ke dalam jaringan otak. Lesi ini menyebabkan gejala yang terlihat mirip dengan stroke iskhemik. Diagnosis perdarahan intraserebral tergantung pada neuroimaging yang dapat dibedakan dengan stroke iskhemik. Stroke ini lebih umum terjadi di negara-negara berkembang daripada Negara-negara maju, penyebabnya masih belum jelas namun variasi dalam diet, aktivitas fisik, pengobatan hipertensi, dan predisposisi genetik dapat mempengaruhi penyakit stroke tersebut.

2)      Perdarahan ekstra serebral (Subarakhnoid)
Perdarahan subarachnoid dicirikan oleh perdarahan arteri di ruang antara dua meningen yaitu piameter dan arachnoidea. Gejala yang terlihat jelas penderita tiba-tiba mengalami sakit kepala yang sangat parah dan biasanya terjadi gangguan kesadaran. Gejala yang menyerupai stroke dapat sering terjadi tetapi jarang. Diagnosis dapat dilakukan dengan neuroimaging dan lumbal puncture.



C.    Epidemiologi
Setelah stroke, sel otak mati dan hematom yg terbentuk akan diserap kembali secara bertahap. Proses alami ini selesai dlm waktu 3 bulan. Pada saat itu, 1/3 orang yang selamat menjadi tergantung dan mungkin mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau cacat. (3)
Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut: (3)
·         1/3 pasien bisa pulih kembali,
·         1/3 pasien mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang,
·         1/3 sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di kasur.
Hanya 10-15 % penderita stroke bisa kembali hidup normal seperti sedia kala, sisanya mengalami cacat, sehingga banyak penderita Stroke menderita stress akibat kecacatan yang ditimbulkan setelah diserang stroke.(3)

D.    Etiologi
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarachnoid atau langsung ke dalam jaringan otak. perdarahan intraserebral selalu disebabkan oleh pecahnya arteri arteriosklerotik kecil yang menyebabkan melemahnya pembuluh darah, terutama oleh hipertensi arterial kronik. Perdarahan lazimnya besar, tunggal, dan merupakan bencana. Penggunaan kokain atau kadang-kadang obat simptomatik lainnya dapat menyebabkan hipertensi singkat yang parah yang menyebabkan perdarahan. Perdarahan intraserebral akibat dari aneurisma congenital, arteriovenosa atau kelainan vascular lainnya, trauma, aneurisma mycotic, infark otak (infark hemoragik), primer atau metastasis tumor otak, antikoagulasi berlebihan, dyscrasia darah, perdarahan atau gangguan vasculitic jarang terjadi. (4)
Stroke hemoragik subarachnoid sering disebabkan oleh kelainan arteri yang berada di pangkal otak, yang dinamakan aneurisma serebral. Perdarahan subarachnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%), kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus PSA merupakan kaitan dari pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah. Selanjutnya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sumsum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor. (4)

E.     Patofisiologi
Perdarahan intraserebral ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering terjadi akibat cedera vascular yang dipicu oleh hipertensi dan rupture salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Stroke yang disebabkan oleh perdarahan intraserebral paling sering terjadi pada saat pasien terjaga dan aktif, sehingga kejadiannya sering disaksikan oleh orang lain. Karena lokasinya berdekatan dengan arteri-arteri dalam, basal ganglia dan kapsula interna sering menerima beban terbesar tekanan dan iskemia yang disebabkan oleh stroke tipe ini. Dengan mengingat bahwa ganglia basal memodulasi fungsi motorik volunter dan bahwa semua saraf aferen dan eferen di separuh korteks mengalami pemadatan untuk masuk dan keluar dari kapsula interna, maka dapat dilihat bahwa stroke di salah satu bagian ini diperkirakan menimbulkan defisit yang sangat merugikan. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula interna. Infark serebrum setelah embolus di suatu arteri otak mungkin terjadi sebagai akibat perdarahan bukan sumbatan oleh embolus itu sendiri. Alasannya adalah bahwa, apabila embolus lenyap atau dibersihkan dari arteri, dinding pembuluh setelah tempat oklusi mengalami perlemahan selama beberapa hari pertama setelah oklusi. Dengan demikian, selama waktu ini dapat terjadi kebocoran atau perdarahan dari dinding pembuluh yang melemah ini. Karena itu, hipertensi perlu dikendalikan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada minggu-minggu pertama setelah stroke embolik. Perdarahan yang terjadi di ruang supratentorium (di atas tentorium serebeli) memiliki prognosis baik apabila volume darah sedikit. Namun perdarahan ke dalam ruang infratentorium di daerah pons atau serebelum memiliki prognosis yang jauh lebih buruk karena cepatnya timbul tekanan pada struktur-struktur vital di batang otak. (4)
Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid lapisan meningen dapat berlangsung cepat, maka kematian sangat tinggi-sekitar 50% pada bulan pertama setelah perdarahan. Penyebab tingginya angka kematian ini adalah bahwa empat penyulit utama dapat menyebabkan iskemia otak serta morbiditas dan mortalitas “tipe lambat” yang dapat terjadi lama setelah perdarahan terkendali. Penyulit-penyulit tersebut adalah : 1). vasospasme reaktif disertai infark, 2). ruptur ulang, 3). hiponatremia, dan 4). hidrosefalus. Bagi pasien yang bertahan hidup setelah perdarahan awal, ruptur ulang atau perdarahan ulang adalah penyulit paling berbahaya pada masa pascaperdarahan dini.   Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari  arteriovenous malformation (AVM).  (4)

F.     Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari stroke perdarahan ditinjau berdasarkan jenisnya sebagai berikut. (1)
1.      Perdarahan intraserebral
     Perdarahan intraserebral ditemukan pada 10% dari seluruh kasus stroke, terdiri dari 80% di hemisfer otak dan sisanya di batang otak dan serebelum.
Gejala klinisnya sebagai berikut.
·     Onset perdarahan bersifat mendadak, terutama sewaktu melakukan aktivitas dan dapat didahului oleh gejala prodromal berupa peningkatan  tekanan darah yaitu nyeri kepala, mual, muntah, gangguan memori, bingung, perdarahan retina, dan epistaksis.
·   Penurunan kesadaran yang berat sampai koma disertai hemiplegia/hemiparese dan dapat disertai kejang fokal / umum.
·     Tanda-tanda penekanan batang otak, gejala pupil unilateral, refleks pergerakan bola mata menghilang dan deserebrasi
·       Dapat dijumpai tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial (TTIK), misalnya papiledema dan perdarahan subhialoid.

2.      Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer.
Gejala klinisnya adalah sebagai berikut.
·      Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
·   Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang.
·       Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai beberapa jam.
·         Dijumpai gejala-gejala rangsang meningen
·   Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid.
·         Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan

G.    Diagnosis
1.      Anamnesis (5)
Anamnesanya adalah khas yaitu penderita hipertensif secara tiba-tiba jatuh karena terserang kelumpuhan tubuh sesisi secara serentak. Biasanya terdapat saat dengan “stress” atau emosi (marah-marah) yang mendahului serangan ‘stroke’ tersebut. Orang yang mengidap ‘stroke’ hemoragik selalu memperlihatkan wajah yang pletorik, asimetrik karena salah satu sudut mulut lebih rendah, berkeringat banyak, kedua bola mata melirik terus-menerus kea rah lesi (‘deviation conjugee’) dan nafas yang dalam keadaan koma.
Tindakan terhadap ‘stroke’ hemoragik dimana terjadi perdarahan besar ialah ‘membiarkan penderita meninggal dengan tenang’. Ini tidak berarti bahwa dokter meninggalkan penderita dan memberitahukan kepada keluarganya bahwa orang-ornag sudah pada ajalnya, tetapi  ia harus tetap mendamoingi orang sakit dan bertindak sebagai berikut :
a.       Observasi tekanan darah, nadi dan pupil.
b.      Mengatur sikap penderita
2.      Pemeriksaan penunjang (6)
Menurut Doenges (1999) pemeriksaan laboratorium meliputi:
a.       CT.scan, memperlihatkan adanya cidera, hematoma, iskhemia infark.
b.      Angiografi cerebral, membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti: perdarahan, obstruksi, arteri adanya ruptur.
c.       Fungsi lumbal, menunjukan adanya tekanan normal dan biasanya ada thrombosis embolis serebral dan tekanan intracranial (TIK). Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukkan adanya haemoragik subarachnoid, perdarahan intra kranial.
d.      Magnetik Resonance imaging (MRI), Menunjukan ada yang mengalami infark.
e.       Ultrasonografi dopler, mengidentifikasi penyakit artemovena
f.       Elektroencefalogram (EEG), Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g.      Sinar X tengkorak:menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa yang meluas klasifikasi karotis interna terdapat pada trombosis cerebral, klasifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid.

H.    Penatalaksanaan
Tatalaksana terapi stroke hemoragik adalah sebagai berikut. (1)
a.       Tujuan terapi:
·         Mengatasi penyebab dari stroke hemoragik jadi terapi diberikan sesuai dengan penyebabnya
·         Mengatasi perdarahan

b.      Sasaran Terapi:
·         Penyebab stroke hemoragik
·         Perdarahan

c.       Terapi non farmakologi:
·         Kendalikan tekanan darah tinggi (hipertensi)
·         Mengurangi asupan kolesterol dan lemak jenuh
·         Tidak merokok
·         Kontrol diabetes dan berat badan
·         Olahraga teratur dan mengurangi stress
·         Konsumsi makanan kaya serat
·         Pembedahan: Untuk lokasi perdarahan dekat permukaan otak.

d.      Terapi farmakologi:
1)      Vitamin K
·         Mekanisme kerja
Mekanisme kerja dengan meningkatkan biosintesis beberapa factor pembekuan daraj yaitu protombin, factor VII, IX, X di hepar. Aktivasi X menjadi Xa oleh factor VIIa, TF dan Ca2+ dari jalur ekstrinsic dan factor IXa, VIIIa dan Ca2+ dari jalur intrinsic. Kemudian factor Xa dibantu oleh Ca2+ dan factor Va akan mengaktifkan protombin menjadi thrombin. Trombin kemudian mengaktivasi factor XIII dan XIIIa yang akan mengkatalisis perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
·         Faktor-faktor pembekuan darah mekanisme kerja:
§  aktivasi tromboplastin
§  pembentukan thrombin dari protombin
§  pembentukan fibrin dari fibrinogen
·         Vitamin K ada 2 jenis : Menadiol Sodium Fosfat yang bersifat larut dalam air dan Fitomenadion (vitamin K1) yang larut dalam lemak.
1)      Menadiol Sodium Fosfat
·         Indikasi: defisiensi vitamin K (misalnya pada sumbatan empedu atau penyakit hati)
·         Kontraindikasi: neonatus, bayi, hamil tua
·         Dosis: 1-12 tahun 5-10 mg per hari, 12-18 tahun 10-10 mg per hari, dewasa 10-40 mg per hari.
·         Sediaan: tablet 10 mg
·         Interaksi: vitamin K melawan efek antikoagulan coumarin dan fenindion
2)      Vitamin K1
·         Indikasi: defisiensi vitamin K (misalnya pada sumbatan empedu atau penyakit hati)
·         Kontraindikasi: neonates, bayi, hamil tua
·         Dosis: 1-12 tahun 5-10 mg per hari, 12-18 tahun 10-20 mg per hari, dewasa 10-40 mg per hari.
·         Sediaan: tablet 10 mg
·         Interaksi : vitamin K melawan efek antikoagulan coumarin dan fenindion.

2)      Protamin
·       Dosis: Injeksi intravena (kecepatan tidak lebih dari 5 mg/menit), 1 mg menetralkan 80-100 unit heparin bila diberikan dalam waktu lebih panjang, diperlukan protamin lebih sedikit karena heparin diekskresi dengan cepat; maksimal 50 mg.
·    Indikasi: Digunakan untuk mengatasi over dosis heparin, namun jika digunakan berlebihan memiliki efek antikoagulan. Jika perdarahan yang terjadi saat pemberian heparin hanya ringan, protamin sulfat tidak perlu diberikan karena penghentian heparin biasanya akan menghentikan perdarahan dalam beberapa jam.
·         Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap protamin
·     Efek samping: Mual, muntah, muka merah, hipontensi, bradikardi, dispnea, reaksi hipersensitif (termasuk angiodema, anafilaksis) pernah dilaporkan.
·      Mekanisme kerja: Protamin sulfat merupakan basa kuat, bekerja sebagai antagonis heparin pada in vitro dan in vivo dengan cara membentuk kompleks bersama heparin yang bersifat asam kuat menjadi bentuk garam stabil. Kompleks heparin dan protamin tidak mempunyai efek antikoagulan.
·         Bentuk sediaan: Injeksi intravena

3)      Asam traneksamat
·       Indikasi: Asam traneksamat adalah obat antifibrinolitik yang menghambat pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis dan pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolisis yang berlebihan dan angiodema hereditas.
·      Mekanisme kerja: asam traneksamat kompetitif menghambat aktivasi plasminogen sehingga mengurangi konversi plasminogen menjadi plasmin (fibrinolisin), enzim yang mendegradasi gumpalan fibrinogen dan protein plasma lainnya termasuk faktor prokoagulan V dan VIII. Oleh karena itu, dapat mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang berlebihan.
·         Dosis: Oral 1-1.5 gr (15-25 mg/kg) 2-4 kali sehari. Dosis injeksi inravena perlahan: 0.5-1 gr (10 mg/kg) 3 kali sehari. Dosis infuse kontinyu 25-50 mg per kg setiap hari.
·     Efek samping: sakit dada, vasospasme, syok hemoragik, demam, sakit kepala, kedinginan, urtikaria, alopesia, disestesis pedis, purpura, eczema, nekrosis kutan, plak eritematosis, hiperkelemia, hiperlipidemia, mual, muntah, konstipasi, hemorage, ditemukan darah pada urin, epiktasis, hemoragik adrenalin, hemoragik retriperitonial, trombositopenia, peningkatan enzim SGOT,SGPT, ulserasi, nekrosis kutan yang disebabkan karena injeksi subkutan, neropati perifer, osteoporosis, konjungtivitis, hemoptisis, hemoragik pulmonary, asma arthritis, rhinitis, bronkospasme, reaksi alergi kemudian reaksi anafilaktik.
·    Interaksi dengan obat lain: obat yang berfungsi untuk menjaga hemostasis tidak diberikan bersamaan dengan obat anti fibrinolitik. Pembentukan thrombus akan meningkat dengan adanya O estrogen atau mekanisme antifibrinolitik diantagonis oleh senyawa trombolitik.
·   Mekanisme kerja: asam traneksamat bekerja dengan sama memblok ikatan plasminogen dan plasmin terhadap fibrin; inhibisi terhadap plasmin ini sangat terbatas pada tingkat tertentu.
·         Bentuk: sediaan kapsul 250 mg, tablet 500 mg, injeksi 50 ml.

4)      Calsium Chanel Blocker: Nimodipin
·         Indikasi: merupakan Ca chanel bloker dengan aktivitas serebrovaskuler preferensial. Hal ini ditandai dengan efek dilatasi dan menurunkan tekanan darah pada serebrovaskuler.
·        Mekanisme kerja: nimodipin ternasuk dalam kelas agen farmakologis dikenal sebagai kalsium chanel blocker. Nimodipin diindikasikan untuk peningkatan hasil neurologis dengan mengurangi insiden dan keparahan deficit iskemik pada pasien dengan perdarhan subarachnoid dari pecahnya aneurisme. Proses kontraktil sel-sel otot polos tergantung pada ion kalsium sel selama depolarisasi sebagai penghambat arus transmembran. Nimodipin menghambat transfer ion kalsiun ke dalam sel dan demikian menghambat kontraksi otot polos vaskuler.
·         Dosis: PO / nasogastrik 60 mg/4 jam selam 21 hari berturut-turut. Memulai terapi dalam waktu 96 jam perdarahan subarachnoid.

5)      Terapi suportif: infuse manitol
·         Indikasi: menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi karena edema serebral.
·     Mekanisme kerja: kenaikan tekanan intrakranial dan adanya edema serebral pada hemoragik dapat terjadi karena dari efek gumpalan hematoma. Manitol bekerja untuk meningkatkan osmolaritas plasma darah, mengakibatkan peningkatan air dari jaringan, termasuk otak dan cairan serebrospinal, ke dalam cairan interstisial dan plasma. Akibatnya edema otak, peningkatan tekanan intrakranial serta volume dan cairan serebrospinal dapat dikurangi.
·     Dosis,  lama dan cara pemberian: tekanan intracranial;edema serebral;1.5-2 gr/kg dosis IV dalam 15,20, atau 25% larutan selam 30-60 menit pertahankan osmolarotas serum 310 sampai >320 mOsm/kg.

I.       Komplikasi
Individu yang mengalami CVS mayor pada bagian otak yang mengontrol respons pernapasan atau cardiovaskuler dapat meninggal. Destruksi area ekspresif atau reseptif pada otak akibat hipoksia dapat menyebabkan paresis. Perubahan emosional dapat terjadi pada kerusakan korteks, yang mencakup sistem limbik. (7)
Hematoma intraserebral dapat  disebabkan oleh pecahnya aneurisme atau stroke hemoragik, yang menyebabkan cedera otak sekunder ketika tekanan intracranial meningkat. (7)

J.      Prognosis
Sekitar 35% dari orang meninggal ketika memiliki perdarahan subarachnoid akibat aneurisme. 15% lainnya meninggal karena mengakibatkan kerusakan otak yang luas dalam waktu beberapa minggu karena pendarahan dari pecahnya kedua. Orang yang bertahan hidup selama 6 bulan tetapi yang tidak memiliki operasi untuk aneurisma memiliki kesempatan 3% lain pecah setiap tahun. Pandangan ini lebih baik bila penyebabnya adalah kelainan arteriovenosa. Kadang-kadang, perdarahan disebabkan oleh cacat kecil yang tidak terdeteksi oleh angiography cerebral karena cacat telah tertutup dengan sendirinya. Dalam kasus tersebut, prospek sangat baik. Beberapa orang kembali sebagian besar atau seluruh fungsi mental dan fisik setelah perdarahan subarachnoid. Namun, banyak orang terus memiliki gejala seperti lemah, lumpuh, atau kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh atau aphasia. (8)



Sumber : 
1.      Israr Yayan A. Stroke. [Online]. 2008 [cited 2011 Feb 23]; [1 screen]. Available from:
3.      Gejala, Penyebab, dan Akibat Stroke. [Online]. [cited 2011 Feb 23]; [1 screen]. Available from:
4.      Hartwig MS. Penyakit serebral. Dalam: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. volume 2. Jakarta: EGC;2005. Hal. 1119-21
5.      Sidharta P. Neurologi klinis dalam praktek umum. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. Hal. 260-89
6.      www.libraryusu.pdf.com
7.      Corwin EJ. Patofisiologi: buku saku. Edisi 3. Jakarta: EGC; 2009. Hal. 250-3
8.      Hemorrhagic Stroke. [Online]. [cited 2011 Feb 27] ; [1 screen]. Available from:
URL: www.merkmanual.com/home/seco6/ch086d.html

Popular Posts

New Comments